Foto: Basu SD |
Malam itu adalah malam yang kami
tunggu-tunggu. Setelah sebelumnya melihat bahwa jadwal perkuliahan tertera untuk
pengajar kelas malam itu adalah Bapak Professor Basu Swastha Dharmmesta, nama
yang sebenarnya tidak asing lagi di telinga saya. Ya, saya pernah mendengar
nama itu.
Akhirnya setelah agak telat karena
beliau harus dijemput di bandara, beliau akhirnya masuk ke dalam kelas. Ucapan sambutan
dengan mendoakan semoga sukses kepada yang hadir di dalam ruangan itu. Terjawab
sudah pertanyaan saya tentang bagaimana sosok beliau yang selama ini hanya saya
tahu namanya lewat internet saja.
Kemudian beliau mulai mengeluarkan
satu demi satu barang dari dalam kopernya. Dan agak terkejutnya kami bahwa yag
dikeluarkan adalah kain batik khas jogja yang menurut beliau itu adalah batik
tulis karyanya. Bertanyalah kemudian beliau, adakah yang sudah pernah tahu
beliau sebelumnya, dan sayapun menjawab, saya mengenal beliau dari daftar
pustaka yang pernah saya abaca. Hehe…
Basu Swastha Dharmmesta (62) adalah sosok
perpaduan ilmu pengetahuan dan kesenian. Basu menekuni karier sebagai akademisi
hingga menjadi Guru Besar Ilmu Pemasaran di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Di sisi lain, dia juga jatuh cinta pada batik.
Beberapa orang kerap mengira Beliau
dari Bali. Padahal, dia lahir dan besar di Kampung Gowongan Lor, Yogyakarta. Interaksi
dengan sang ibu dan nenek membuatnya tertarik pada batik. Dia pun belajar
membatik menggunakan malam dan canting. Namun, interaksi intens dengan batik
baru dialami Basu saat remaja, pada 1968, ketika belajar menari dan melukis di
sanggar Bagong Kussudiardja. ”Saya masih saudara jauh dengan almarhum Mas
Bagong. Awalnya, sekitar tahun 1962, saya, kakak, dan adik belajar menari. Kami
mungkin murid pertama Beliau,” ujarnya.
Kemudian pada akhir dekade 1960-an,
Bagong yang juga menekuni seni rupa dan kerap membuat lukisan itu bersama
sejumlah seniman bereksperimen membuat lukisan batik. Basu yang melihat
eksperimen itu lalu tertarik untuk meniru. ”Ternyata saya menikmati membuat
lukisan batik. Kalau orang melakukan sesuatu dan menikmati, berarti habitatnya
memang di situ,” kata ayah empat anak itu.
Hasil lukisan batik dibuat dengan
bahan dan proses yang sama dengan membuat batik. Saat melukis, sang pelukis tak
memakai kuas dan cat minyak, tetapi canting dan malam. Media melukisnya kain.
Berbeda dengan batik yang gambarnya sudah berpola, lukisan batik bisa berisi
gambar apa saja, bergantung keinginan sang seniman.
Saat menjadi mahasiswa Jurusan
Ekonomi Perusahaan UGM, 1971, Basu terus membuat lukisan batik. Tahun itu dia
berpameran bersama kelompok Bagong Kussudiardja di Yogyakarta, Bandung, dan
Semarang. Dia juga menggelar pameran tunggal di Gedung Lembaga
Indonesia-Amerika, Jakarta, dan Gedung Kesenian Cijantung, Jakarta Timur. ”Saya
juga menggelar pameran tunggal di Surabaya.”
Basu juga berupaya menjual lukisan
batiknya melalui toko. Tahun 1972, dia bekerja sama dengan sebuah toko seni di
Kampung Taman Sari, Yogyakarta, untuk menjual karyanya.
sayangnya, aktivitas melukis batik
berkurang saat Basu diterima sebagai dosen di almamaternya pada 1977. Kesibukan
mengajar, meneliti, dan membimbing mahasiswa menyita waktunya. Akibatnya, ia
hanya melukis batik secara sporadis. Kesibukan akademis yang makin padat
membuatnya berhenti melukis pada 1986. ”Tahun 1985, saya masih membuat lukisan
batik, tetapi sesudah itu saya berhenti,” ujar dosen Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM itu.
Berhentinya Basu melukis batik
ternyata tidak selamanya. Pada 10 Juli 2010, sekitar 24 tahun sesudah berhenti
melukis, ia mengunjungi pameran batik dan kerajinan di Jogja Expo Center. Dalam
pameran itu, dia tertarik pada sebuah stan yang menawarkan pembelajaran
membatik kepada para pengunjung. Basu berhenti di stan bertuliskan ”Demo
Membatik” itu dan tiba-tiba tergerak untuk mencoba membatik kembali.
Saat itu Basu Swastha Dharmmesta ”Malam
setelah nyoba membatik di pameran, saya enggak bisa tidur. Perasaan ingin
membatik muncul terus. Kejadian tersebut saya sebut sebagai momen kebangkitan
kembali,” katanya.
Di tengah kesibukan akademisnya,
Basu mulai membatik lagi. Bahkan, pada 26-30 September 2012, ia menggelar
pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM. Pameran
bertajuk ”Kebangkitan Melukis Batik untuk Memayu Hayuning Bawana” itu
menampilkan 54 lukisan batik yang dibuatnya dalam rentang 1968-2012.
Menariknya, pameran tersebut juga
menyuguhkan karya lukisan pertama Basu yang dibuat pada 1968, yakni ”Burung
Hantu”. Selain itu, ada beberapa karya lain yang dibuat saat dirinya masih
muda, misalnya ”Keburukan vs Kebaikan” (1973), ”Ikan” (1980), dan ”Dua Prajurit
Pandawa” (1985).
Basu kemudian meluncurkan buku
karyanya berjudul Ilmu Pemasaran dalam Seni Lukis Batik yang juga menjadi
semacam katalog pameran. Pada waktu itu diluncurkan pula buku Batik Lukis Basu
SD yang ditulis Marissa Haque dan Meta Ayu Thereskova.
Lukisan Basu kebanyakan menampilkan
figur-figur wayang kulit Jawa, khususnya Pandawa dan para kerabatnya, seperti
Kresna, Gatotkaca, dan Antareja. Ornamen-ornamen khas wayang kulit Jawa juga
menghiasi lukisan Basu yang menampilkan figur hewan. Lukisan ”Burung Hantu” dan
”Ikan”, misalnya, tidak menampilkan bentuk binatang secara realis, tetapi
menghadirkan sosok samar-samar berhias ornamen yang mengingatkan kita pada
wayang kulit.
Basu menerima cukup banyak pesanan
lukisan batik. Sebagian orang juga memesan kain lukisan batik sebagai bahan
kemeja. ”Saya sedang memenuhi pesanan kain batik untuk seragam sekitar 900
pegawai kantor UGM. Sekarang sudah saya selesaikan sekitar 600 kain, semuanya
hasil lukisan, tidak memakai cap,” ujar mantan Direktur Magister Manajemen UGM
tersebut.
Untuk memenuhi pesanan, Basu kini
dibantu enam pebatik. Dia juga membuka Basu SD Gallery sebagai tempat untuk memamerkan
karya-karyanya. Meskipun menghasilkan pendapatan, Basu tetap menganggap
kegiatan melukis batiknya itu sebagai hobi. ”Pekerjaan utama saya tetap
akademisi. Nanti kalau sudah pensiun atau tugas akademis berkurang, saya akan
fokus melukis batik,” katanya.
Basu menambahkan, ketekunannya
melukis batik menjadi bagian dari upaya mempromosikan batik. Menurut dia, batik
masih perlu dipromosikan agar semangat mencintai produk budaya asli Indonesia
itu tidak hanya dimiliki para produsen dan penjual batik, tetapi juga
masyarakat luas.
Nama : Basu
Swastha Dharmmesta
Lahir : Yogyakarta, 20 Agustus 1952
Pekerjaan : Dosen Pengajar di Universitas Gadjah Mada
Istri : Rr Muktiari
Anak :
1. Meta Dhika Dharmmesta
2. Meta Ayu Thereskova
3. Mata Bagus Amerossi
4. Meta Ayu Puspitantri
Pendidikan :
– SD-SMA
di Yogyakarta
– S-1
Jurusan Ekonomi Perusahaan UGM, lulus 1976
– S-2 Northwestern State University
of Louisiana, Amerika Serikat,
1984
– Doctor
of Philosophy in Marketing, University of Strathclyde,
Skotlandia, 1992.
semoga memberikan kebermanfaatan
semoga memberikan kebermanfaatan
Comments
Post a Comment