Foto Ilustrasi: Rina Destriyana dkk |
Beberapa petang
yang lalu, ditemani hujan
rintik-rintik yang tak kunjung henti ba’da sholat maghrib, saya mendapat pesan
dari rekan yang bekerja sebagai abdi negara di salah satu lembaga publik
Pemerintah. Setelah lama tak berpesan, ini kali terakhir beliau mengabari. Bukan tanpa
sebab, tentu masih terkait pekerjaan yang kami kerjakan tempo hari.
Sudah dapat
ditebak, sedikit
keluhan yang diutarakan terkait pekerjaan yang dirasa tidak kunjung selesai
karena kurangnya koordinasi dengan rekan kerjanya yang lain. Pekerjaan yang harusnya
selesai dalam waktu yang telah ditentukkan tidak juga kunjung usai dikarenakan
enggan nya menyelesaikan tugas bersama yang di dalamnya membutuhkan peran aktif
semua pihak di dalamnya. Itulah yang dia rasakan selama pengerjaan tugas
tersebut. Dan menurutnya itulah kondisi yang terjadi selama ini yang dia alami
pun selama menjadi abdi negara yang kira kira sudah hampir puluhan tahun.
Ketimpangan dalam
pembagian dan penyelesaian tugas ini tentu salah satu dari seabreknya
permasalahan tentang aparatur negara di Indonesia. Nuansa KKN tentu tak
terlepas dari belum baiknya citra aparatur negara. Tidak bisa digeneralisasikan
dan di komprehensifkan memang, namun kecenderungan yang sama hampir dialami di
semua instansi pemerintah di republik ini.
Lembaga pemerintah
yang seharusnya menjadi pelopor dan pemberi contoh yang baik kepada masyarakat
belum menunjukkan perannya menjadi penggerak masyarakat untuk hidup dalam
tatanan ideal demokrasi Pancasila. Sikap professional dan bebas dari praktik
KKN tentu menjadi tujuan bersama yang wajib diamini dan dijalankan oleh semua
lapisan masyarakat. Dari akar rumput sampai puncak harus memiliki kesadaran
untuk bersikap yang demikian. Tentu kita harus berkaca dari negara maju yang
memiliki prinsip dan kesadaran dari masyarakatnya.
Mungkin,
masalah ini sudah menjadi rahasia umum dan hampir dialami oleh semua
organisasi, bukan hanya di pemerintahan. Kecenderungan rekannya
untuk enggan berpartisipasi aktif tersebut menurut beliau adalah sudah menjadi
watak dari mereka. Kecenderungan untuk menyelamatkan diri masing-masing sudah
bukan hal yang aneh. Bahkan ungkapan pagi nunggu sore yang saya lontarkan juga
diiyakan. Tidakkah
revolusi mental berjalan dengan semestinya? Menurut beliau, belum ada dampak
yang signifikan terhadap karakter dari pegawai yang ada di lembaga negara
tersebut.
Rasa rasanya cerita ini cukup
beralasan dan ya yang terjadi seperti itu. Kalau kita ingat isu pindahnya
beberapa pegawai negeri dari kabupaten ke provinsi atau kota menjadi salah satu
bentuk kebijakan yang patut untuk diperhatikan. Apakah kebijakan tersebut sudah
tepat, ataukah hanya untuk kepentingan beberapa orang. Tentu hal ini menjadi
kurang bijak ketika tidak ada pemerataan kualitas pegawai negeri antara satu
dengan yang lain. Berbicara
tentang kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebuah lembaga negara.
Masih menurut rekan saya, kondisinya adalah sumberdaya yang ada kurang memiliki
kualitas yang merata. Untuk beberapa hal yang substansial seperti membuat
renstra di perangkat daerah masing-masing ternyata juga kurang dikuasai.
Lalu dimanakah permasalahan ini bisa
terjadi. Salah satunya terkait penempatan pegawai yang sudah diungkapkan
sebelumnya. Yang kedua adalah, ungkapan “sudahlah ngapain ngoyo ngoyo, yang kerja siapa yang
klaim pekerjaan siapa, Kerja
gak kerja ya tetap dapat gaji dan tunjangan”. Ungkapan seperti itu masih sering
terdengar dari beberapa
pegawai.
Melihat hal
tersebut, tentu kita melihat ada masalah dari sisi karakter dan etos kerja,
selain itu pengembangan kapasitas pegawai pun perlu mendapat sorotan. Bahkan kalau
boleh dibilang, justru faktor inilah yang memotivasi sebagian besar masyarakat
untuk menjadi pegawai abdi negara. Kerja enak gaji enak, kira kira bisa
diungkapkan seperti itu.
Budaya
organisasi menjadi faktor yang tentu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
membentuk karakter dan mental orang orang di dalam lingkungan kerja. Budaya organisasi
yang positif akan membentuk orang orang di dalamnya menjadi positif, pun
sebaliknya budaya organisasi yang buruk menjadikan orang orang di dalamnya
menjadi buruk. Malas dan KKN itu budaya organisasi yang buruk.
Kemudian gaya
kepemimpinan juga menentukan orang-orang di dalamnya. Profesionalitas dan
karakter kepemimpinan yang tegas juga akan membentuk orang orang di dalamnya
menjadi pegawai yang loyal dan bekerja penuh dedikasi. Tegas bukan berarti
keras. Sikap obyektif tentu harus lebih dikedepankan untuk menilai kinerja
pegawai.
Secara mendalam,
patut untuk kita soroti bersama tentunya adalah bagaimana kualitas pelayanan public
jika tugas dan pekerjaan internal saja kurang berhasil dengan baik. Tentu sudah
menjadi keharusan seorang pegawai abdi negara juga memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Jangan sampai negara memelihara pegawai yang kurang produktif.
Sudah berkali
kali dan mungkin juga telah disuarakan oleh masyarakat tentang perlunya
penilaian kinerja pegawai abdi negara disamakan dengan organisasi swasta yang
mengedepankan profesionalitas. Ya, profesionalitas. Bahwasanya kinerja pegawai
dapat diukur berdasarkan pencapaian tugas yang dibebankan. Bahwasanya nasib
mereka bisa kapan saja diberhentikan ketika mereka tidak professional dalam
bekerja. Reward and punishment jelas, tugas tanggung jawab jelas.
Di kemudian
hari tentunya, dalam proses perekrutan pun harus lebih selektif lagi. Jangan lagi
ada praktik kkn dengan melibatkan elemen professional yang independen agar
outputnya pun menjadi awal dari generasi pegawai yang professional dan bebas
praktik KKN.
Semoga memberikan
kebermanfaatan
#kotabandarlampung
#bandarlampung #lampung #provinsilampung #indonesia
#bandarlampungcreativecityforum #pemerintahan #bebaskkn #profesionalitas
#kinerja #revolusimental
Comments
Post a Comment